Dalam 1 foto ada banyak “kenapa” dibalik otak fotografer
Kenapa foto seperti ini dibuat?
Kenapa harus dengan lensa itu?
Kenapa di momen itu?
Kenapa di cahaya itu?
Kenapa harus dengan elemen gambar itu?
Kenapa tanpa bokeh?
Kenapa ekspresi saat itu?
Kenapa gesturnya harus itu?
Kenapa harus warna dan latar itu?
Kenapa harus gelap/terang dieditnya?
Kita coba bahas satu foto karya:
Beberapa jawaban yang bisa dirangkum dari Kenapa.
Kenapa foto seperti ini dibuat?
Saya ingin menampilkan sosok warga desa yang beraktifitas ekonomi di desanya dengan informasi yang cukup padat. Sosoknya terlihat jelas dari ujung kepala hingga kaki untuk menunjukkan profil yang tersirat kelas ekonominya dengan tipe profesi demikian.
Kenapa harus dengan lensa itu?
23mm ini ekuivalen dengan 35mm di full frame yang menurut saya jadi seperti replika bagaimana mata kita melihat. lensanya tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat sehingga menurut saya pas.
Kenapa di momen itu?
Ada daun di kanan yang kebetulan dipegang oleh orang lain. Saya tak menampilkan sosoknya karena hanya perlu tekstur dari daunnya yang ketika digabung dengan yang dipegang bapak ini, mereka seakan-akan memberikan garis imajiner yang menjadi bentuk baru dalam frame foto secara keseluruhan. Seperti ada huruf X dari elemen daun.
Kenapa di cahaya itu?
Penugasan di lapangan, waktu yang singkat. Saya memotret dengan tipe cahaya apapun. Cari keindahan dalam setiap momen dan elemen yang ada. Tak harus cahaya super bagus dari sunrise atau sunset. Membangun cerita bisa dengan apa saja.
Kenapa harus dengan elemen gambar itu?
Penekanan cerita. Si bapak bekerja membuat atap dari daun kelapa. Jadi elemen yang harus ada ya subyek (si bapak) dengan gestur yang tepat (melipat daun) dan daun itu sendiri. Bisa saja daun dibawah tanpa tambahan daun di sebelah kanan. Tapi daun di kanan justru jadi penyeimbang frame foto. Kiri sudah penuh dan kanan kurang tekstur yang nantinya bisa membuat mata kita justru fokus ke ruang yang kosong. Ini gak bagus karena foto jadi nggak utuh. Kebetulan ada warga lain yang memegang daun di kanan (tanpa settingan dari saya) dan saya foto saja untuk memenuhi ruang kosong dan memberi tekstur.
Kenapa tanpa bokeh?
Foto bagus tak harus penuh dengan blur yang terkesan cantik dan rapi. Saya suka memasukkan banyak elemen pada foto. Elemen-elemen ini seperti menjadi penanda zaman. Entah baju, latar belakang, sandal, dan lain-lain. Banyak detail kecil yang bisa jadi bahan penelitian jika dibedah secara rinci.
Kenapa ekspresi saat itu?
Ada ekspresi senyum, dan tertawa ketika saya menghampiri meereka. Tapi saya ingin ekspresi senatural mereka ketika bekerja. Saya tunggu dan akhirnya mereka lelah senyum dan tertawa. Mereka cuek dan kembali ke ekspresi awal ketika bekerja.
Kenapa gesturnya harus itu?
Saya selalu memerhatikan gestur. Hal ini krusial, tergantung dari cerita apa yang ingin saya bangun. Di foto ini saya hanya ingin menceritakan bagaimana warga desa melipat satu per satu daun kelapa untuk dijadikan atap. Ya saya observasi bagaimana gesturnya lalu jepret rana ketika gestur mereka sudah benar.
Kenapa harus warna dan latar itu?
Latar belakang sederhana dan tidak membuat mata bingung. Ada latar belakang dan warna-warna lain kalau saya bergeser. Misalnya ada warna merah, dan hijau alam tapi terlalu rumit! Saya sudah banyak memasukkan elemen rumit seperti daun pisang, jadinya saya cari kontras dengan latar sederhana agar pembaca bisa lebih mudah memahami dan menikmati foto.
Kenapa harus gelap/terang dieditnya?
Ini soal rasa dan selera saja. Satu foto bisa dibuat moodnya dengan lebih terang atau gelap pada foto.
Dalam 1 foto ada sekian banyak pemikiran ini yang berjalan sebelum dan saat saya memencet tombol rana.
“Ah gampang, tinggal jeprat-jepret saja!”
Salam dari Balik Layar
#catatanvisual