Tugu Karang ditempatkan di dekat pintu masuk yang didalamnya terdapat Sang Kala Raksa. Ia bersifat Bhuta Kala yang bisa berarti positif atau negatif. Dengan memberikan tempat dan persembahan, penghuni rumah berselaras dengannya.
Plastik ibarat Bhuta Kala di zaman modern ini. Kalau kita bisa memanfaatkan dengan bijaksana, ia akan berselaras dengan manusia dan bumi. Begitu juga sebaliknya.
Penggunaan sekali pakai bisa mengendap di tanah dan merusak unsur baik didalamnya. Bisa juga terserak, terhempas angin, terbawa hujan dan ikut mengalir bersama aliran sungai yang bermuara di laut.
Laut adalah Ibu dalam filosofi Hindu Bali. Gunung adalah Ayah yang disebut dengan konsep segara gunung.
MANUSIA BIASA
"Dianggap warga biasa aja. Kerjanya ngelukis, suka mungutin sampah" jawab Bayak.
Saya penasaran bagaimana tanggapan tetangga dan warga desanya tentang Bayak yang karyanya sudah mendunia.
Karena menurut saya isu plastik ini sangat elit. Tak semua lapisan masyarakat menganggap ini masalah. Toh mereka masih hidup, bersenang-senang dan membahas isu politik dan masalah Bali hingga dunia dengan perut kenyang.
Sudah 10 tahun Bayak mengerjakan karya bertema sampah dan menurutnya memang susah. Susah banget mengedukasi warga.
”Saya nggak bisa frontal memberi tahu bahaya sampah pada warga sekitar rumah saya, bisa jadi masalah nanti. Pernah kejadian saya hampir bertengkar dengan tetangga gara-gara ini'“, ujarnya.
Ketika petani di desanya membuang sampah plastik di sawah. Bayak kemudian memungutnya dan hanya menjawab “jelek ngenah misi sampah, pedalem suba luwung carikne” (jelek kelihatan isi sampah, sudah bagus begini sawahnya).
Bayak hanya manusia biasa di mata warga, ia bukan pejabat yang ketika bersabda, maka warga akan mengangguk-angguk.