“Motret gitu aja gampang, tinggal jepret-jepret!”
Sering dengar yang seperti ini?
Untuk orang awam, cara si penutur visual ini bergerak seperti ‘effortless’.
Seperti mudah saja bergerak sedikit lalu memotret dan dapat foto yang diinginkan.
Cara ini seakan-akan mudah ditiru begitu saja kalau dilihat langsung.
Tapi didalam kepala si perekam cahaya ada materi tentang komposisi, arah datang cahaya, observasi gerakan dan mempelajari momen apa yang penting untuk direkam, juga menarik dinikmati secara visual.
Misalnya foto dibawah ini.
Di momen ini ada Cok Toris, teman pengrajin bambu dari Blahbatuh yang sedang mengerjakan detail interior di rumah bambu.
Cahaya frontal dari depan dan semua terlihat terang.
Fotonya diambil dengan baik, tapi menurut saya kurang dramatis.
Datar saja!
Tak puas dengan yang ‘baik’ saja, saya bergeser ke kiri mencari kemungkinan tipe cahaya.
Akhirnya dapat momen dengan cahaya yang jauh lebih dramatis.
Semua ini didapat dengan sedikit kerja keras, menggeser posisi memotret.
Cahaya dramatis bisa terjadi jika ada gradasi antara gelap dan terang sehingga foto terlihat lebih berdimensi dan menarik secara visual.
Gradasi cahaya ini semakin menegaskan bentuk.
Entah bentuk bambu yang semakin terlihat dimensinya, manusia dengan lekuk tubuhnya, dan unsur-unsur lainnya pada visual.
Dengan tipe cahaya samping seperti ini akhirnya saya memutuskan untuk memotret lebih dekat pada detail apa yang Cok Toris kerjakan.
Cahaya ini membuat bagian tajam pisau semakin tegas, lengkungan bambu luar lebih terlihat.
Semua ini hanya karena cahaya.
Mempelajari arah datangnya cahaya adalah satu bagian dari dasar fotografi.
Meski di zaman modern ini semua bisa dilakukan dengan instan dan alat yang sangat mendukung, tapi dasar yang kuat sangat diperlukan untuk penugasan foto dimanapun dan kapanpun.
Catatan visual, 7 Juli 2021.
Anggara Mahendra